Senin, 24 April 2017

Taufiq Ismail
Catatan dari Bandung dan Jakarta
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN TERHADAP ITU

            Pertengahan Agustus 1974,  melalui Sutardji Calzoum Bachri, saya menerima undangan untuk membaca sajak di Bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra. Waktu yang ditawarkan akhir Agustus  namun saya meminta jika bisa diundur pada awal September atau minggu kedua bulan September. Hal ini diatur melalui pembicaraan telepon, jadinya 8 September 1974. Pada interlokal itu Sutardji menyebut tentang bentuk “Pengadilan Puisi” yang belum diketahui bagaimana jelasnya.
            Dua jam sebelum acara dimulai, para penyelenggara menjelaskan kepada saya apa yang dimaksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. Ternyata Bandung ingin mencari suatubentuk lain dalam membahas kesusastraan, dalam hal ini puisi. Menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhirjadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang memberikan kesaksian dan ada hakim yang memutuskan.
            Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya, diluar dugaan saya. Judulnya dengan semangat Zola 76 tahun yang lalu , paling kurang pada dua kata pertama “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
            Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi. Tembakan-tembakan kejengkelan jaksa dan keempat tuntutannya pada situasi pengadilan puisi terdengar cukup konyol dan jenakalah ala kadarnya. Sebagai pembela, saya agaknya tidak terlalu berat melakukan tugas, karena suasana terasa macam pengadilan plonco-plonci yang tegang bagi mereka yang tak paham namun gembira bagi yang mau ikut main. Diktum-diktum tuntutan cukup tidak masuk akal dan beberapas saksi bermain ping-pong baik dengan jaksa maupun dengan pembela.
            Kursi kosong yang terletak ditengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad : Puisi Mutakhir Indonesia. Janji bersama untuk 8 September di Aula Unpar Bandung adalah dengan apresiasiterhadap kejenakaan, ala kadar yang bisa dicapai. Saksi ada dua macam, yaitu yang memberatkan dan meringatkan tuduhan terhadap pesakitan.
*
            Sidang dihentikan sejenak, para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum adat serta membaca cerita adat. Hakim Darmanto menolak tuntutan jaksa, diputuskan bahwa Puisi Mutakhir Indonesia memang ada namun belum berkembang . Ada 4 keputusan oleh Majelis Hakim. Jaksa Slamet Kirnanto tidak puas dengan keputusan ini dan menyatakan naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi.
*
            Tiga belas hari selanjutnya, di Teater Fakultas Sastra UI diadakan majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” Jalan acara cukup ramai, sudah lama orang tidak “bermarah-marah” dalam lalu lintas sastra Indonesia .


Slamet Kirnanto
SAYA MENDAKWA KEHIDUPAN PUISI INDONESIA AKHIR-AKHIR INI TIDAK SEHAT, TIDAK JELAS DAN BRENGSEK!
(Tuntutan Umum pada Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung, 8 September 1974)
            Kepada majelis sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan betapa semakin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia, khususnya kehidupan puisi Indonesia. Menurut pengamatan saya mengalami semacam polusi dan manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!
            Harry Aveling pernah menyatakan saat ia ceramah di Malaysia “Percobaan Darnanto dan Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan segala lapisan pembaca sastra Indonesia... minimal, keduanya menentang cara dan pokok menulis yang sudah biasa bagi penulis Indonesia. Keduanya sedang menoong mencari jalan baru, jalan kebawah sadar, yang percaya akan kekuatan perkataan dan keindahan manusia hancur, manusia yang hidup dengan syahwatnya, kesengsaraannya, kematiannya, yang percaya manusia sendiri Tuhan.”!
            Menurut saya penilaian Harry Aveling dalam ceramahnya, sekalianlah belum memadai. Namun, suatu ketajaman dalam mengikuti hidup dan perkembangan penciptaan sastra (khsusunya puisi) di negeri kita ini sangat membanggembirakan dan pantas kita hargakan.
            Aneh, dalam negeri sendiri orang tidak menyadari tentang munculnya gejala dan kecenderungan-kecenderungan baru. M.S Hutagalung (dosen kesusatraan FSUI) bersama rekannya seperti S. Effendi dan yang lainnya pernah memperkenalkan satu teori kritik sastra yang dikenal dengan metodei struktural yang dikukuhkan pada seminar bahasa dan kesusastraan tahun 1966.
            Kritikus muda ( Subagio Sastrowardoyo) nampaknya sekadar terpikat oleh pilihan kata-kata istimewa, ditilik dari segi-segi atau unsur yang membangun struktur dalam sajak-sajak Subagio. Menurut Hutagalung, puncak keberhasialn Subagio adalah pada sajak “Dan Kematian Semakin Akrab” namun H.B. Jassin menolak keputusan bekas anak didiknya itu. Menurut kritikus ini, penyair yang terkemuka di Indonesia sekarang ini adalah W.S Rendra. Rendra sebagai penyair terbesar saat ini karena berhasil menggambarkan gagasan yang dalam, lekuk-liku kejiwaan yang sulit diraba dan dipikirkan yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari kehidupan sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret.
            Dalam hati saya geli mendengari pertandingan adu nomor itu. Bagaimana kita mempercayai pendirian dan penilaian dua kritikus itu. Katakanlah dua kritikus dan sekaligus membuat sulapan semacam ini.
            Renungkan setengah dari karikatur yang saya paparkan diatas. Disatu pihak sarjana sastra dan kritikus asing yang dengan teliti dan tekun mengikuti perkembangan kesusastraan Indonesia modern dari zaman baheula sampai zaman mutakhir.
            Untuk menyegarkan dan menyehatkan kehidupan sastra kita khususnya puisi, perlu adanya integritas dari berbagai potensi. Meskipun sastra kita cukup dewasa untuk dinilai diuji ataupun di curigai; namun cara-cara yang dilakukan oleh Hutagalung dan Jassin dalam debat tentang penyair nomor wahid itu menunjukan mandeknya pemikiran dalam mengikuti perkembangan kehidupan puisi Indonesia mutakhir. Tugas penyair adalah mencipta.
            Orang menganggap saya memuji muji keberhasilan Sutardji, membela setengah mati. Yang lebih penting ialah kesan umum yang saya tangkap yang membedakan penciptaan seni yang mutakhir dengan keadaan penciptaan sebelumnya. Kecenderungan seni nampak tumbuh secara merata dan bersama-sama tumbuh dalam satu ruang dan rasa utuh yang sama. Perlu dicatat  saya tidak meniadakan kehadiran dan peranan yang pernah dimiliki Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebagainya. Pastilah sebagian penyair yang sadar akan kediriannya sebagai pencipta, tidak terjerumus dalam menjiplak pola-pola atau model dari sajak-sajak.
            Sifat jalannya sidang peradilan yang sekarang ini, ada pendirian yang mungkin cukup diametral, membelah wilayah ini menjadi dua ujung yang berbeda kodratnya, gaya hidupnya, suasana batin dan pengalamannya. Dengan ini kami sangat bertindak selaku jaksa penuntut umum dalam”peradilan puisi kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1.      Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki
2.      Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.      Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang kepulau yang paling pencil
4.      Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.

H.B. Jassin
Beberapa Catatan Bertalian dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR

Menurut program, susunan personalia pengaadilan adalah seperti berikut:
Hakim ketua                : Sanento Yuliman
Hakim anggota            : Darmanto Jt
Jaksa penuntut umum : Slamet Kirnanto
Tim Pembela               : Taufiq Ismail
                                      Sapardi Djoko Damono (absen)
                                      (Hendrawan Nadesul)
Terdakwa                    :  Puisi Indonesia Mutakhir
Para saksi                    : saksi yang meringankan :
                                      Saini K.M. (Bandung)
                                      Adri Damardji (Jakarta)
                                      Wing Kardjo (Bandung)
                                      Abdul Hadi W.M (Bandung)
                                      Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
                                      Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
                                      Saksi yang memberatkan :
                                      Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
                                      Sides Sudyarto DS (Jakarta)
            Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan kompas ialah, bahwa:
...situasi perkembangan sastra. Khususnya puisi di Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari sastrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri melainkan hanya epigonisme dari barat saja.
            Dalam pengadilan puisi sudah sewajarnya dihadirkan para penyair dan kritikus untuk mempertanggung jawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosanya. Didalam pengadilan sesungguhnya tentulah seorang pembela akan memajukan eksepsi, tapi saya sebagai peninjau merangkap tertuduh pada kesempatan ini lebih berminat untuk meminta diteruskan jalannya pengadilan dan membicarakan apa yang perlu dibicarakan demi mencapai kejernihan dan keadilan.
            Para penyair mutakhir dalam penciptaannya cukup serius dalam pencariannya dan perlulah diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya lebih lanjut. 

M.S. Hutagalung
PUISI KITA DEWASA INI
Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto

            Pada dasarnya “pengadilan puisi” yang diadakan di Bandung tidak banyak memberikan kesan kepaday saya. Pertama-tama saya telah biasa mendengar pelbagai macam pertanyaan, statement tang terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi dan pembuktian-pembuktian seperti misalnya: tak ada puisi setelah Chairil Anwar, Kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang Kritikus dan banyak lagi. Kesan demikianlah yang timbul pada saya waktu membaca berita-berita yang tak begitu lengkap mengenai “pengadilan puisi” tersebut.
            Dalam dalam tulisannya yang berkobar-kobar, Kirnanto sangat bangga dan ingin menonjolkan tokoh yang sangat dikagumi dan dipujannya: Sutardji Calzoum Bachri. Dan karena para kritikus kurang cepat menanggapi sajak-sajak Sutadji yang “maha besar” Kirnanto mengamuk dan bertanya: “Apakah kritik sastra di Indonesia telah mati sebelum hidup?”
            Saya katakan pendapat itu bau apak karena kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji bukanlah alasanuntuk mengatakan bahwa kritik sastra di Indonesia tidak ada. Dan rupanya, pendapat yang bau apak itu telah di kemukakan juga dalam dakwaannya di Bandung dengan judul yang sangat spektakuler itu: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!” Rupanya telah lahir Rustandi Kartakusuma yang kedua didalam kehidupan sastra kita.

            Setelah penuntut umum mengutarakan kegembiraannya karena Harry Aveling menyebut-nyebut tokoh pujaannya: Sutadji dan Danarto, ia mulai penghakimannya kepada penulis dan teman-teman:
Untuk menimbulkan kesan bahwa ia (M.S. Hutagalung MSH) tetap setia pada bidangnya(kesusastraan), dalam suatu ceramahnya di Fakultas Sastra UI dengan lagak seorang juri ia menilai dan sekaligus mengumumkan bahwa dewasa ini penyair yang terkemuka di Indonesia ini adalah Subagio Sastra wardoyo – baru kemudian meyusul nama-nama Goenawan Mohamad, Sapardji Djoko Damono dan Rendra.

Kekeliruan Kirnanto juga ialah bahwa ia mengaggap bahwa semua bunga yang punya duri adalah mawar, atau bunga itu menjadi mawar karena berduri. Ia menganggap sajak yang aneh sebagai sajak yang berhasil. Yang tidak ditanyakan seterusnya adalah apakah sajak yang aneh ini punya nilai-nilai yang langgeng atau tidak.
             Beberapa kesimpulan:
1.      Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2.      Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statment tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3.      Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4.      Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin atau M.S Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan tagar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.

Goenawan Mohamad
Komentar Berhubung Dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
           
Tentang forum itu
            Harus diakui, ini hasil akal bagus untuk mengadakan diskusi puisis dengan cara baru. Cara yang lama mungkin dianggap membosankan atau kurang daya tarik. Dasar pemikiran penjuala obat alun-alun masih cukus sah untuk ditirukan: maunya jual obat, tapi buat atraksi perlu ada sedikit jungkir balik.
Tentang “tuntutan” Slamet Kirnanto
            Rasanya soal yang ditampilkan dalam acara Bandung itu hanya ulangan dari gerutan lama. Menghantam H.B. Jassin, mengecam Horison,  menabok epigonisme terhadap barat atau lainnya ... demua itu sudah merupakan klise. “pengadilan” itu menjadi botol untuk kecap yang tidak asin atau manis lagi. Saya jadi berpikir-pikir; tidakka “pengadilan puisi” itu juga menunjukan ciri-ciri beberapa seniman kita kini, yang gemar mencari bentuk baru, dengan ucapak dan tingkah laku kontroversial, untuk menarik khalayak untuk berkerumun – justru karena makin sedikit yang bisa ditawarkan sebagai isi? Dengan kata lain, soalnya hanya melawan kejemuan.
Tentang “Hakim” dan isi pembicaraan
            Saya mmendapat kesan dari isi pembicaraan dalam “pengadilan” itu bagaimana sibuknya para penyair itu terus-menerus dengan diri mereka sendiri. Seolah-olah keadaan mereka-lah yang paling gawat sekarang, bahwa merekalah yang diperlakukan paling tidak adil di Indonesia kini ... oleh seorang kritikus dan dua buah majalah.
Tentang penyair yang sudah “Established”
            Ada penyerangan terhadap mereka. Setiap seniman punya nasib – malah kehendak – untuk jadi “established”. Apa boleh buat: yang berubah itu selamannya berarti perubahan dari sesuatu. Dalam hal ini, “sesuatu” itu adalah kepribadian sang penyair. Bila ia jujur, ia tidak bisa mengelak dari dirinya sendiri.
Tentang kehidupan puisi
            Tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga – hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis dari pada ia memaksa diri kasih unjuk tenaganya tapi Cuma menghasilkan ampas.

Sapardji Djoko Damono
CATATAN ATAS PENGADILAN PUISI DAN TUNTUTAN SLAMET KIRNANTO

I
            Pengadilan puisi diselenggarakan di Bandung pada tanggal 8 September 1974. Pengadilan puisi di Bandung itu suatu cara bertengakar yang unik, meskipun juga bisa dianggap sebagai puncak perkembangan “sastra mulut”.
II
            Keseluruhan naskah tuntutan itu memberi kesan bahwa penulisnya ingin membuktikan bahwa ia adalah orang pertama yang melihat adanya hal-hal baru dalam sastra Indonesia. Untk mencapai maksud itu, ia rupanya menganggap perlu untuk mencaci-maki dua buah majalah.:
Gejala demikian juga nampak pada satu-satunya media sastra yang disebut Horison  dan Budaya Jaya. Tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jwaba. Nama Horison yang pada periode awal menunjukan suatu janji memberikan prasarana terbaik untuk tumbuhnya karya-karya sastra yang kreatif dan sehat itu, tiba-tiba saja terjerumus menjadi majalah keluarga. Karena mereka ingin menegakan suatu kekukuhan berpijak sebagai yang paling mewakili, menjadikan isi majalah itu menurut selera mereka. Tanpa memberikan kesempatan pada gejala yang berlainan. Mereka lupa bahwa majalah tidak hanya bergantung pada kemauan redaksi, tetapi juga karena didukung oleh penulis-penulis dan publik pembaca.

III
            Tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak. Barangkali kita harus menghargai Kirnanto karena “keberaniannya” tampil di Bandung tempo hari namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu.

Darmanto Jt
TENTANG PENGADILAN PUISI

I
            Merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi-saksi, mendengarkan pembelaan, kemudian memutuskan hukuman. Betapapunorang bilang, judgment kritikus bukan judgment yang final, namu kitidakfinalan ini mempunyai tabiat yang tak bisa di tawar-tawar.
            Jadi, apa salahnya kita minta pengadilan puisi. Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Yang kedua, ini penting, sebab dengan demikian penyair-penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau yang dipuisikan dan mana yang tidak. Yakni untuk mencegah kerusuhan dan efeknya negatif terhadap masyarakat. Ketiga, tentu saja, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini.
II
            Untuk kenaikan pangkat, pertama pertimbangan prestasi;sebab, ini tuntutan yang demokrasi sesuai hukum-hukum terbaru masayarakar modern dalam masalah “bekerja”.
            Hendaknya Dewab Pertimbangan ini mencantumkan juga predikat promosi penyair. Misalnya, “cemerlang”, “biasa”, atau “kurang”.
III
            Sekarang mari kita ingat kembali Chairil Anwar. Dalam masalah kelas, bisakah dia dibilang kelas I? Karena sangiannya masih sedikit.
            Masih tentang Chairl Anwar. Bagaimana dengan kegiatan plagiatnya? Perlu diadili atautidak? Ini penting, demi fair-nya kesusastraan Indonesia. Bukankah hukum itu dijunjung tinggi jiks kita hendak menjadi negara modern.


1 komentar:

  1. The Wizard of Oz: Casino Tycoon, a Magic-Based - Jeopardy - JDH
    The Wizard 부천 출장안마 of Oz: Casino Tycoon, a Magic-Based Video Game, is an 동두천 출장마사지 online slot 충청남도 출장마사지 machine game developed by 강릉 출장안마 J.T. 세종특별자치 출장마사지 Gold, Inc.

    BalasHapus