Bapak
Kota Sama-Randah
Legenda adalah cerita seorang suci
seperti wali, pahlawan dan tokoh lain. Cerita itu bersifat historis dan secara
populerditerima sebagai kebenaran walaupun kepastian ilmiyahnya tidak ada. (Abdul
2000;119). Legenda yaitu dongeng tentang
asal mula suatu gejala alam. Cerita yang menghubung-hubungkan peristiwa sejarah
dengan keajaiban alam. (Mohammad 1990:101).
Legenda sama dengan mitos diyakini
benar-benar terjadi. Bersifat sekuler keduniawian, terjadi belum terlalu lama.
Bertempat didunia seperti yang kita tempati saat ini.
Legenda di golongkan menjadi empat
golongan yaitu, legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan
legenda setempat.
Legenda keagamaan bisa berbentuk tulisan atau
buku tentang orang yang saleh atau seorang yang ahli agama. Walaupun sudah di
tulis tetapi tetap folklor. Karena dituturkan oleh pemiliknya.
Legenda
alam gaib biasanya di anggap benar-benar terjadi, mengandung takhayul atau
kepercayaan rakyat.
Legenda
persorangan yaitu mengenai tokoh tertentu yang di anggap pernah terjadi,
seperti contoh legenda pendiri kota Samarinda yang akan dibahas.
Legenda
setempat yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat tertentu, nama
tempat dan topograpi.
Legenda
bersifat migratoris (berpindah-pindah) sehingga dikenal luas di daerah-daerah
yang berbeda.
Beberapa
fakta legenda menurut Alan Dundes legenda lebih banyak dari mitos dan dongeng
pada setiap daerah. Legenda seperti mitos yang mempunyai tipe dasar yang
terbatas. Lebih banyak legenda lokal ketimbang legenda migrasi. Di dunia akan
selalu ada pertambahan legenda.
Berbicara
tentang legenda disini saya akan mengulas pasal pendiri kota disalah satu
wilayah Kalimantan Timur. Pada tanggal
18 april 2017, saya bersama rombongan kelas Sastra Indonesia berencana akan
berjiarah sekaligus meneliti tentang makam Lamohang Daeng Mangkona. Yang
bertempat di Samarinda Seberang tepatnya di JL. ABD. RASYID. Disini sebelum
saya masuk jauh untuk mengulas saya akan membagikan sedikit gambaran tentang
suasana yang ada di makam Lamohang Daeng Mangkona. Sebelum berangkat menuju
makam kami berkumpul di halaman
Fakultas Ilmu Budaya Unmul. Berdoa sebelum melakukan perjalanan menuju
pemakaman pendiri kota “Samarinda” Lamohang Daeng Mangkona namanya. Sekitar
setengah jam lamanya perjalanan ke makam Lamohang Daeng Mangkona yang bertempat
di Samarinda Seberang.
Perjalanan
yang sedikit risih di bawah teriknya matahari macetnya kota Samarinda yang
sedikit tak bersahabat yang tak jarang bunyi kelakson-kelakson mereka yang
sedikit kurang bisa berkompromi, tapi hal itu tak menyurutkan keingin tahuan
saya terhadap pendiri sekaligus penjaga kota samarinda.
Tak
nampak begitu jelas kedalaman pemakaman Lamahong Daeng Mangkona dari sisi luar
karena pemakaman di pagari cukup tinggi kecuali kita tepat berdiri di depan
pagar sedikit dapat terlihat keadaan di dalam pemakaman. Terdapat gardu
pemakaman dan halaman parkir yang cukup luas untuk para pengunjung atau para
penjiarah yang datang. Di sebelah kiri bila kita menghadap dari jalan terdapat
sebuah tempat beteduh dan toilet yang di sediakan untuk para pengunjung dan
penjiarah. Di tengah ada lima makam yang di buat ada atap atau seperti rumah
yang di pagariseperti makam pada umumnya yang di beri penaungan. Lima makam dan
salah satunya makam Lamohang Daeng Mangkona.
Disebelah
kanan ada miniatur kapal yang menjadi simbol alat transportasi Lamohang Daeng
Mangkona dari pulau Sulawesi menuju pulau Kalimantan.
Di
belakang tepatnya di bagian belakang makam Lamohang Daeng Mangkona terdapat
beberapa makam para pengikut-pengikut Lamohangg Daeng Mangkona, yang menurut
sumber sekaligus juru kunci makam tersebut, berjumlah sekitar 200 orang, dan di
belakang lagi sedikit terpisah tapi masih dalam satu lingkungan menurut cerita
dari sumber disana adalah makam-makam para penghianat Lamohang Daeng Mangkona.
Seluruh
wilayah pemakaman tersebut di pagari cukup tinggi karena di khawatirkan banyak
orang-orang yang tak bertanggung jawab semudahnya masuk ke pemakaman. Karna tak
jarang orang-orang tak bertanggung jawab menyalah gunakan makam tersebut.
Awalnya
hanyalah kampung pengungsi. Cikal bakal kota Samarinda adalah sebuah kampung
yang didirikan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) di
daerah Samarinda Seberang.
Sejarah
lisan menuturkan, kehadiran orang-orang Bugis Wajo di Kalimantan berwal dari
pecahnya pertikaian Kerajaan Gowa yang saat itu di pinpin oleh Sultan
Hasanuddin dengan kerajaan Bone yang saat itu di pimpin oleh Raja Arupalaka.
Pertikaian tersebut melibatkan pasukan Belanda yang di pimpin oleh Laksamana
Cornelis Janszoon Speelman.
Saat itu kerajaan Bone merupakan kerajaan Gowa, namun
keduanya berulang kali bertikai karena berbagai sebab. Cerita lisan menuturkan,
satu pertikaian terjadi akibat terbunuhnya seorang bangsawan Bone oleh
bangsawan Gowa dalam acara sabung ayam yang digelar untuk memeriahkan suatu
pesta perkawinan putra Gowa dengan putri Bone. Pertikaian ini lah yang membuat
para rombonganpengungsi yang di pimpin oleh La Ma’dukelleng dari Gowa pindah ke
daerah Pasir, Kalimantan Timur. Cerita lisan menyebutkan,inilah rombongan etnis
Bugis yang pertama kali datang ke Kalimantan Timur.
Sementara itu kronik
Bugis mengisahkan pernah terjadi pertikaian tajam Kerajaan Bone dan Gowa yang
di picu perbedaan pandangan mengenai perbudakan. Raja Bone yang menerapkan
ajaran Islam secara harafiah mempunyai keinginan unuk membebaskan semua orang
yang”tidak bebas”, yang tidak berasal dari negeri itu, dan mengharuskan
tuan-tuan mereka untuk menggaji atau mengupah orang–orang itu. Tapi ibunya,
yang bingung memikirkan akibat yang akan timbul dari kemurahan hati itu, cepat
memberitahukannya kepada para penguasa Gowa (yang menguasai Bone sekaligus
masih kerabat). Penguasa Gowa kemudian menyatakan menentang rencana penghapusan
perbudakan itu, demi memulihkan ketertiban. Karena bila gagasan itu dilaksanakan,
maka akan terjadi keguncang sosial-kultural, yang pada gilirannya bisa jadi
mengguncang eksistensi kemonarkian yang ada. Pertikaian Bone-Gowa akhirnya
memuncak oleh kulminasi berbagai
persoalan lain. Ketika pertempuran terbuka pecah, Gowa diserang dari dua arah.
Speelman menyerang dari arah laut, sementara Arupakala dan prajuritnya
menyerang dari darat. Akhirnya kerajaan Gowa kalah dan Sultan Hasanuddin di
paksa menandatangani perjanjian takluk. Perjanjian ini di kenal dengan sebutan
“Perjanjian Bongaja” yang di lakukan tanggal 18 November 1667.
Sebagian
orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak sudi tunduk ada sebagian yang
meneruskan perjuangan melalui perlawanan secara geriliya. Sebagian memutuskan
untuk merantau ke pulau-pulau lain. Di antaranya adalah La Mohang Daeng
Mangkona memilih meninggalkan kota kelahirannya, melintas Selat Makasar menuju
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Rombongan ini berjumlah sekitar 200 orang
dan menggunakan 18 perahu.
Kedatangan
rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oleh Sultan Kutai, Dipati Modjo
Kusumo (1650-1686) yang saat itu bertahta di pemarangan (sekarang kampung
jembayan).
Atas
kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut di
beri lokasi tempat tinggal disekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang),
yaitu daratan rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha.
Di
sinilah La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongan membuka hutan dan mencetak
area persawahan tadah hujan. Mereka juga membangun rumah-rumah rakit yang
membujur sepanjang tepian mahakam. Rumah-rumah ini dikerjakan secara gotong
royong. Rumah-rumah yang sama tinggi, area persawahan yang sama rendah dan di
bagi rata menyebabkan perbedaan derajat kearistokratan yang sebenarnya dibawa
dari tanah asal mereka menjadi hilang. Mereka menjadi egaliter. Semua sama.
Daerah itupun kemudian dinamai “sama-randah” (randa=rendah;bahasa Banjar). Nama
ini dua arti: pertama, mengacu pada daerah itu yang memang rendah; kedua,
mengacu pada terciptanya ke-egaliter-an kehidupan. Lama-lama daerah itu
dinamakan Samarinda.
La
Mohang Daeng Mangkona di akui Raja Kutai sebagai pimpinan komunitas disana
dengan gelar Poa Adi.
Orang-orang
Bugis Wajo mulai membangun pemukiman di daerah “sama-randah” atau samarinda itu
pada Januari 1668, yang kemudian di jadikan patokan untuk menetapkan hari jadi
kota Samarinda. Hari jadi kota Samarinda di tetapkan tanggal 21 Januari 1668.
Seiring berjalannya waktu kota Samarinda menjadi pesat oleh penduduk dan
pemukiman-pemukiman yang di bangun oleh orang dari wilayah lain.
Sejak
tanggal 1 januari 1957 kota Samarinda remi menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan
Timur, yang terletak di pinggir sungai Mahakam(Bahokam).
Wajah
dan keturunan La Mohang Daeng Mangkona tidak diketahui jelas. La Mohang Daeng
Mnagkona juga sebagai salah satu penyebar agama Islam menurut cerita dari juru
kunci ketiga yang sampai saat ini masih menjadi juru kunci makam La Mohang
Daeng Mangkona.
Menurut
cerita dari juru kunci ketiga sekaligus anak dari juru kunci pertama makam
Lamahong Daeng Mangkona ditemuka oleh M Toha selaku juru kunci pertama. Saat
itu M Toha berniat mebuka sebuah lahan untuk perkebunan dengan cara membakar
hutan tesebut saat semua telah terbakar
namun menyisakan batu nisan yang tersebar yang tidak terbakar, dari
situlah M Toha berpikir untuk mengamati atau mencari tahu pasal makam tersebut.
Akhirnya M Toha merundingkan dengan penjaga Museum Mulawarman untuk melaporkan
ke pusat untuk meneliti. Lalu di resmikan menjadi Cagar Budaya Nasional. Di
bangun lah makam tersebut pada tahun 1994.
Kepastian kapan meninggalnya tidak diketahui
diperkirakan umur makam ini sekitar 300 Tahunan. Sekitar kurang lebih terdapat
seratus makam yang ada di Taman Makam Lamohang Daeng Mangkona.
Saya
dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan Lamohang Daeng Mangkona ke tanah
Kalimantan bukan atas kehendaknya melainkan karena peperangan yang menimbulkan
ketidaknyamanan dan dia memutuskan untuk merantau ke tanah Kalimantan Timur.
Dan disana lah Lamohang Daeng Mangkona di berikan sebuah wilayah untuk di buka
dan dijaga dari para penjajah.
Disinilah
awal terbukannya kota samarinda yang dulu dinamakan sama-rendah, perlahan-lahan
menjadi kota yang pesat penduduk dan lama-kalaman menjadi pusat kota atau ibu
kota Provinsi.
Dan
ternyata bukan seorang yang dari dalam wilayah Kalimantan Timur lah yang
membuka kota Samarinda melainkan seorang pengungsi dari Wajo yang di beri
kekuasan oleh Raja Kuta untuk membuka lahan sekaligus menjaga tanah Samarinda.
Sayangnya
tidak banyak para penghuni kota Samarinda yang perantau ataupun yang asli orang
Samarinda tidak banyak mengetahui sejarah ini, siapa pembangun pertama kota
samarinda. Hal ini terjadi karena kurangnya pnyebaran-penyebaran tentang
sejarah-sejarah yang luar biasa pengaruhnya tentang awal pembangunan kota
Samarinda. Harapan yang terbenam dalam diri ini semoga sejarah-sejarah yang ada
dalam tanah tempat tinggal kita dapat di explore dan di sebarluaskan kepada
para penduduk agar mereka tahu bagaimana sejarah-sejarah yang ada dan sangat
berpengaruh bagi kota tersebut.
Dan satu
hal yang sangat di sayangkan kurangnya sumber informasi tentang seberapa
pentingnya seorang tokoh Lamohang Daeng Mangkona. Harapan selanjutnya semoga
ada referensi-referensi baru yang bisa di pertanggung jawabkan dan lebih lengkap
tentang informasi makam tersebut.

Makam La Mohang Daeng Mangkona

Miniatur kapal sebagai lambang alat transportasi La
Mohang Daeng Mangkona

Makam para pengikut La Mohang Daeng Mangkona
Daftar Pustaka:
Muzakir, Djahar, dkk. 2007. Mari Mengenal Samarinda.
Samarinda:CV Spirit Komunika
Riwit, Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun.
Sagimun M.D. 1992. Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari
Ufuk Timur. Jakarta:Balai Pustaka
Rozak, Abdul
Zaidan dkk.2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:Balai Pustaka
Drs. Mohamad Ngafean. 1990. Kamus Kesusastraan. Semarang:
Dahara Prize
Tidak ada komentar:
Posting Komentar