Senin, 17 April 2017

Bapak Kota Sama-Randah

Bapak Kota Sama-Randah

            Legenda adalah cerita seorang suci seperti wali, pahlawan dan tokoh lain. Cerita itu bersifat historis dan secara populerditerima sebagai kebenaran walaupun kepastian ilmiyahnya tidak ada. (Abdul 2000;119). Legenda yaitu dongeng tentang asal mula suatu gejala alam. Cerita yang menghubung-hubungkan peristiwa sejarah dengan keajaiban alam. (Mohammad 1990:101).
            Legenda sama dengan mitos diyakini benar-benar terjadi. Bersifat sekuler keduniawian, terjadi belum terlalu lama. Bertempat didunia seperti yang kita tempati saat ini.
            Legenda di golongkan menjadi empat golongan yaitu, legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
             Legenda keagamaan bisa berbentuk tulisan atau buku tentang orang yang saleh atau seorang yang ahli agama. Walaupun sudah di tulis tetapi tetap folklor. Karena dituturkan oleh pemiliknya.
            Legenda alam gaib biasanya di anggap benar-benar terjadi, mengandung takhayul atau kepercayaan rakyat.
            Legenda persorangan yaitu mengenai tokoh tertentu yang di anggap pernah terjadi, seperti contoh legenda pendiri kota Samarinda yang akan dibahas.
            Legenda setempat yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat tertentu, nama tempat dan topograpi.
            Legenda bersifat migratoris (berpindah-pindah) sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
            Beberapa fakta legenda menurut Alan Dundes legenda lebih banyak dari mitos dan dongeng pada setiap daerah. Legenda seperti mitos yang mempunyai tipe dasar yang terbatas. Lebih banyak legenda lokal ketimbang legenda migrasi. Di dunia akan selalu ada pertambahan legenda.
           
            Berbicara tentang legenda disini saya akan mengulas pasal pendiri kota disalah satu wilayah Kalimantan Timur. Pada tanggal 18 april 2017, saya bersama rombongan kelas Sastra Indonesia berencana akan berjiarah sekaligus meneliti tentang makam Lamohang Daeng Mangkona. Yang bertempat di Samarinda Seberang tepatnya di JL. ABD. RASYID. Disini sebelum saya masuk jauh untuk mengulas saya akan membagikan sedikit gambaran tentang suasana yang ada di makam Lamohang Daeng Mangkona. Sebelum berangkat menuju makam kami berkumpul di halaman Fakultas Ilmu Budaya Unmul. Berdoa sebelum melakukan perjalanan menuju pemakaman pendiri kota “Samarinda” Lamohang Daeng Mangkona namanya. Sekitar setengah jam lamanya perjalanan ke makam Lamohang Daeng Mangkona yang bertempat di Samarinda Seberang.
            Perjalanan yang sedikit risih di bawah teriknya matahari macetnya kota Samarinda yang sedikit tak bersahabat yang tak jarang bunyi kelakson-kelakson mereka yang sedikit kurang bisa berkompromi, tapi hal itu tak menyurutkan keingin tahuan saya terhadap pendiri sekaligus penjaga kota samarinda.
            Tak nampak begitu jelas kedalaman pemakaman Lamahong Daeng Mangkona dari sisi luar karena pemakaman di pagari cukup tinggi kecuali kita tepat berdiri di depan pagar sedikit dapat terlihat keadaan di dalam pemakaman. Terdapat gardu pemakaman dan halaman parkir yang cukup luas untuk para pengunjung atau para penjiarah yang datang. Di sebelah kiri bila kita menghadap dari jalan terdapat sebuah tempat beteduh dan toilet yang di sediakan untuk para pengunjung dan penjiarah. Di tengah ada lima makam yang di buat ada atap atau seperti rumah yang di pagariseperti makam pada umumnya yang di beri penaungan. Lima makam dan salah satunya makam Lamohang Daeng Mangkona.
            Disebelah kanan ada miniatur kapal yang menjadi simbol alat transportasi Lamohang Daeng Mangkona dari pulau Sulawesi menuju pulau Kalimantan.
            Di belakang tepatnya di bagian belakang makam Lamohang Daeng Mangkona terdapat beberapa makam para pengikut-pengikut Lamohangg Daeng Mangkona, yang menurut sumber sekaligus juru kunci makam tersebut, berjumlah sekitar 200 orang, dan di belakang lagi sedikit terpisah tapi masih dalam satu lingkungan menurut cerita dari sumber disana adalah makam-makam para penghianat Lamohang Daeng Mangkona.
            Seluruh wilayah pemakaman tersebut di pagari cukup tinggi karena di khawatirkan banyak orang-orang yang tak bertanggung jawab semudahnya masuk ke pemakaman. Karna tak jarang orang-orang tak bertanggung jawab menyalah gunakan makam tersebut.

            Awalnya hanyalah kampung pengungsi. Cikal bakal kota Samarinda adalah sebuah kampung yang didirikan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) di daerah Samarinda Seberang.
            Sejarah lisan menuturkan, kehadiran orang-orang Bugis Wajo di Kalimantan berwal dari pecahnya pertikaian Kerajaan Gowa yang saat itu di pinpin oleh Sultan Hasanuddin dengan kerajaan Bone yang saat itu di pimpin oleh Raja Arupalaka. Pertikaian tersebut melibatkan pasukan Belanda yang di pimpin oleh Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.
Saat itu kerajaan Bone merupakan kerajaan Gowa, namun keduanya berulang kali bertikai karena berbagai sebab. Cerita lisan menuturkan, satu pertikaian terjadi akibat terbunuhnya seorang bangsawan Bone oleh bangsawan Gowa dalam acara sabung ayam yang digelar untuk memeriahkan suatu pesta perkawinan putra Gowa dengan putri Bone. Pertikaian ini lah yang membuat para rombonganpengungsi yang di pimpin oleh La Ma’dukelleng dari Gowa pindah ke daerah Pasir, Kalimantan Timur. Cerita lisan menyebutkan,inilah rombongan etnis Bugis yang pertama kali datang ke Kalimantan Timur.
                        Sementara itu kronik Bugis mengisahkan pernah terjadi pertikaian tajam Kerajaan Bone dan Gowa yang di picu perbedaan pandangan mengenai perbudakan. Raja Bone yang menerapkan ajaran Islam secara harafiah mempunyai keinginan unuk membebaskan semua orang yang”tidak bebas”, yang tidak berasal dari negeri itu, dan mengharuskan tuan-tuan mereka untuk menggaji atau mengupah orang–orang itu. Tapi ibunya, yang bingung memikirkan akibat yang akan timbul dari kemurahan hati itu, cepat memberitahukannya kepada para penguasa Gowa (yang menguasai Bone sekaligus masih kerabat). Penguasa Gowa kemudian menyatakan menentang rencana penghapusan perbudakan itu, demi memulihkan ketertiban. Karena bila gagasan itu dilaksanakan, maka akan terjadi keguncang sosial-kultural, yang pada gilirannya bisa jadi mengguncang eksistensi kemonarkian yang ada. Pertikaian Bone-Gowa akhirnya memuncak oleh kulminasi  berbagai persoalan lain. Ketika pertempuran terbuka pecah, Gowa diserang dari dua arah. Speelman menyerang dari arah laut, sementara Arupakala dan prajuritnya menyerang dari darat. Akhirnya kerajaan Gowa kalah dan Sultan Hasanuddin di paksa menandatangani perjanjian takluk. Perjanjian ini di kenal dengan sebutan “Perjanjian Bongaja” yang di lakukan tanggal 18 November 1667.
            Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak sudi tunduk ada sebagian yang meneruskan perjuangan melalui perlawanan secara geriliya. Sebagian memutuskan untuk merantau ke pulau-pulau lain. Di antaranya adalah La Mohang Daeng Mangkona memilih meninggalkan kota kelahirannya, melintas Selat Makasar menuju Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Rombongan ini berjumlah sekitar 200 orang dan menggunakan 18 perahu.
            Kedatangan rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oleh Sultan Kutai, Dipati Modjo Kusumo (1650-1686) yang saat itu bertahta di pemarangan (sekarang kampung jembayan).
            Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut di beri lokasi tempat tinggal disekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang), yaitu daratan rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha.
            Di sinilah La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongan membuka hutan dan mencetak area persawahan tadah hujan. Mereka juga membangun rumah-rumah rakit yang membujur sepanjang tepian mahakam. Rumah-rumah ini dikerjakan secara gotong royong. Rumah-rumah yang sama tinggi, area persawahan yang sama rendah dan di bagi rata menyebabkan perbedaan derajat kearistokratan yang sebenarnya dibawa dari tanah asal mereka menjadi hilang. Mereka menjadi egaliter. Semua sama. Daerah itupun kemudian dinamai “sama-randah” (randa=rendah;bahasa Banjar). Nama ini dua arti: pertama, mengacu pada daerah itu yang memang rendah; kedua, mengacu pada terciptanya ke-egaliter-an kehidupan. Lama-lama daerah itu dinamakan Samarinda.
            La Mohang Daeng Mangkona di akui Raja Kutai sebagai pimpinan komunitas disana dengan gelar Poa Adi.
            Orang-orang Bugis Wajo mulai membangun pemukiman di daerah “sama-randah” atau samarinda itu pada Januari 1668, yang kemudian di jadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Hari jadi kota Samarinda di tetapkan tanggal 21 Januari 1668. Seiring berjalannya waktu kota Samarinda menjadi pesat oleh penduduk dan pemukiman-pemukiman yang di bangun oleh orang dari wilayah lain.
            Sejak tanggal 1 januari 1957 kota Samarinda remi menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, yang terletak di pinggir sungai Mahakam(Bahokam).
            Wajah dan keturunan La Mohang Daeng Mangkona tidak diketahui jelas. La Mohang Daeng Mnagkona juga sebagai salah satu penyebar agama Islam menurut cerita dari juru kunci ketiga yang sampai saat ini masih menjadi juru kunci makam La Mohang Daeng Mangkona.
            Menurut cerita dari juru kunci ketiga sekaligus anak dari juru kunci pertama makam Lamahong Daeng Mangkona ditemuka oleh M Toha selaku juru kunci pertama. Saat itu M Toha berniat mebuka sebuah lahan untuk perkebunan dengan cara membakar hutan tesebut saat semua telah terbakar  namun menyisakan batu nisan yang tersebar yang tidak terbakar, dari situlah M Toha berpikir untuk mengamati atau mencari tahu pasal makam tersebut. Akhirnya M Toha merundingkan dengan penjaga Museum Mulawarman untuk melaporkan ke pusat untuk meneliti. Lalu di resmikan menjadi Cagar Budaya Nasional. Di bangun lah makam tersebut pada tahun 1994.
             Kepastian kapan meninggalnya tidak diketahui diperkirakan umur makam ini sekitar 300 Tahunan. Sekitar kurang lebih terdapat seratus makam yang ada di Taman Makam Lamohang Daeng Mangkona.

            Saya dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan Lamohang Daeng Mangkona ke tanah Kalimantan bukan atas kehendaknya melainkan karena peperangan yang menimbulkan ketidaknyamanan dan dia memutuskan untuk merantau ke tanah Kalimantan Timur. Dan disana lah Lamohang Daeng Mangkona di berikan sebuah wilayah untuk di buka dan dijaga dari para penjajah.
            Disinilah awal terbukannya kota samarinda yang dulu dinamakan sama-rendah, perlahan-lahan menjadi kota yang pesat penduduk dan lama-kalaman menjadi pusat kota atau ibu kota Provinsi.
            Dan ternyata bukan seorang yang dari dalam wilayah Kalimantan Timur lah yang membuka kota Samarinda melainkan seorang pengungsi dari Wajo yang di beri kekuasan oleh Raja Kuta untuk membuka lahan sekaligus menjaga tanah Samarinda.

            Sayangnya tidak banyak para penghuni kota Samarinda yang perantau ataupun yang asli orang Samarinda tidak banyak mengetahui sejarah ini, siapa pembangun pertama kota samarinda. Hal ini terjadi karena kurangnya pnyebaran-penyebaran tentang sejarah-sejarah yang luar biasa pengaruhnya tentang awal pembangunan kota Samarinda. Harapan yang terbenam dalam diri ini semoga sejarah-sejarah yang ada dalam tanah tempat tinggal kita dapat di explore dan di sebarluaskan kepada para penduduk agar mereka tahu bagaimana sejarah-sejarah yang ada dan sangat berpengaruh bagi kota tersebut.
            Dan satu hal yang sangat di sayangkan kurangnya sumber informasi tentang seberapa pentingnya seorang tokoh Lamohang Daeng Mangkona. Harapan selanjutnya semoga ada referensi-referensi baru yang bisa di pertanggung jawabkan dan lebih lengkap tentang informasi makam tersebut.
IMG_0561.JPG
Makam La Mohang Daeng Mangkona

IMG_0563.JPG 
Miniatur kapal sebagai lambang alat transportasi La
Mohang Daeng Mangkona
IMG_0560.JPG
Makam para pengikut La Mohang Daeng Mangkona

Daftar Pustaka:
Muzakir, Djahar, dkk. 2007. Mari Mengenal Samarinda. Samarinda:CV Spirit Komunika
Riwit, Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun.
Sagimun M.D. 1992. Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Ufuk Timur. Jakarta:Balai Pustaka
Rozak, Abdul  Zaidan dkk.2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:Balai Pustaka
Drs. Mohamad Ngafean. 1990. Kamus Kesusastraan. Semarang: Dahara Prize

Tidak ada komentar:

Posting Komentar