Taufiq Ismail
Catatan dari Bandung dan Jakarta
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN TERHADAP ITU
Pertengahan
Agustus 1974, melalui Sutardji Calzoum
Bachri, saya menerima undangan untuk membaca sajak di Bandung dan mengikuti
suatu kegiatan sastra. Waktu yang ditawarkan akhir Agustus namun saya meminta jika bisa diundur pada
awal September atau minggu kedua bulan September. Hal ini diatur melalui
pembicaraan telepon, jadinya 8 September 1974. Pada interlokal itu Sutardji
menyebut tentang bentuk “Pengadilan Puisi” yang belum diketahui bagaimana
jelasnya.
Dua jam
sebelum acara dimulai, para penyelenggara menjelaskan kepada saya apa yang
dimaksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. Ternyata Bandung ingin
mencari suatubentuk lain dalam membahas kesusastraan, dalam hal ini puisi.
Menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan.
Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhirjadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang
mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang memberikan
kesaksian dan ada hakim yang memutuskan.
Slamet
Kirnanto membacakan tuntutannya, diluar dugaan saya. Judulnya dengan semangat
Zola 76 tahun yang lalu , paling kurang pada dua kata pertama “Saya Mendakwa
Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan
Brengsek!”
Dakwaan
merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi. Tembakan-tembakan
kejengkelan jaksa dan keempat tuntutannya pada situasi pengadilan puisi
terdengar cukup konyol dan jenakalah ala kadarnya. Sebagai pembela, saya
agaknya tidak terlalu berat melakukan tugas, karena suasana terasa macam
pengadilan plonco-plonci yang tegang bagi mereka yang tak paham namun gembira
bagi yang mau ikut main. Diktum-diktum tuntutan cukup tidak masuk akal dan
beberapas saksi bermain ping-pong baik dengan jaksa maupun dengan pembela.
Kursi
kosong yang terletak ditengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang
tak berjasad : Puisi Mutakhir Indonesia. Janji bersama untuk 8 September di
Aula Unpar Bandung adalah dengan apresiasiterhadap kejenakaan, ala kadar yang
bisa dicapai. Saksi ada dua macam, yaitu yang memberatkan dan meringatkan
tuduhan terhadap pesakitan.
*
Sidang
dihentikan sejenak, para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab
Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum adat serta membaca cerita
adat. Hakim Darmanto menolak tuntutan jaksa, diputuskan bahwa Puisi Mutakhir
Indonesia memang ada namun belum berkembang . Ada 4 keputusan oleh Majelis
Hakim. Jaksa Slamet Kirnanto tidak puas dengan keputusan ini dan menyatakan
naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi.
*
Tiga
belas hari selanjutnya, di Teater Fakultas Sastra UI diadakan majelis dengan
judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” Jalan acara cukup ramai, sudah lama orang
tidak “bermarah-marah” dalam lalu lintas sastra Indonesia .
Slamet Kirnanto
SAYA MENDAKWA KEHIDUPAN PUISI INDONESIA AKHIR-AKHIR INI TIDAK SEHAT, TIDAK
JELAS DAN BRENGSEK!
(Tuntutan Umum pada Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir
di Bandung, 8 September 1974)
Kepada
majelis sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan
betapa semakin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia, khususnya
kehidupan puisi Indonesia. Menurut pengamatan saya mengalami semacam polusi dan
manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!
Harry
Aveling pernah menyatakan saat ia ceramah di Malaysia “Percobaan Darnanto dan
Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan segala lapisan pembaca sastra
Indonesia... minimal, keduanya menentang cara dan pokok menulis yang sudah
biasa bagi penulis Indonesia. Keduanya sedang menoong mencari jalan baru, jalan
kebawah sadar, yang percaya akan kekuatan perkataan dan keindahan manusia
hancur, manusia yang hidup dengan syahwatnya, kesengsaraannya, kematiannya,
yang percaya manusia sendiri Tuhan.”!
Menurut
saya penilaian Harry Aveling dalam ceramahnya, sekalianlah belum memadai.
Namun, suatu ketajaman dalam mengikuti hidup dan perkembangan penciptaan sastra
(khsusunya puisi) di negeri kita ini sangat membanggembirakan dan pantas kita
hargakan.
Aneh,
dalam negeri sendiri orang tidak menyadari tentang munculnya gejala dan
kecenderungan-kecenderungan baru. M.S Hutagalung (dosen kesusatraan FSUI)
bersama rekannya seperti S. Effendi dan yang lainnya pernah memperkenalkan satu
teori kritik sastra yang dikenal dengan metodei
struktural yang dikukuhkan pada seminar bahasa dan kesusastraan tahun 1966.
Kritikus
muda ( Subagio Sastrowardoyo) nampaknya sekadar terpikat oleh pilihan kata-kata
istimewa, ditilik dari segi-segi atau unsur yang membangun struktur dalam
sajak-sajak Subagio. Menurut Hutagalung, puncak keberhasialn Subagio adalah
pada sajak “Dan Kematian Semakin Akrab” namun H.B. Jassin menolak keputusan
bekas anak didiknya itu. Menurut kritikus ini, penyair yang terkemuka di
Indonesia sekarang ini adalah W.S Rendra. Rendra sebagai penyair terbesar saat
ini karena berhasil menggambarkan gagasan yang dalam, lekuk-liku kejiwaan yang
sulit diraba dan dipikirkan yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari
kehidupan sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret.
Dalam
hati saya geli mendengari pertandingan adu nomor itu. Bagaimana kita
mempercayai pendirian dan penilaian dua kritikus itu. Katakanlah dua kritikus
dan sekaligus membuat sulapan semacam ini.
Renungkan
setengah dari karikatur yang saya paparkan diatas. Disatu pihak sarjana sastra
dan kritikus asing yang dengan teliti dan tekun mengikuti perkembangan
kesusastraan Indonesia modern dari zaman baheula sampai zaman mutakhir.
Untuk
menyegarkan dan menyehatkan kehidupan sastra kita khususnya puisi, perlu adanya
integritas dari berbagai potensi. Meskipun sastra kita cukup dewasa untuk
dinilai diuji ataupun di curigai; namun cara-cara yang dilakukan oleh
Hutagalung dan Jassin dalam debat tentang penyair nomor wahid itu menunjukan
mandeknya pemikiran dalam mengikuti perkembangan kehidupan puisi Indonesia
mutakhir. Tugas penyair adalah mencipta.
Orang
menganggap saya memuji muji keberhasilan Sutardji, membela setengah mati. Yang
lebih penting ialah kesan umum yang saya tangkap yang membedakan penciptaan
seni yang mutakhir dengan keadaan penciptaan sebelumnya. Kecenderungan seni
nampak tumbuh secara merata dan bersama-sama tumbuh dalam satu ruang dan rasa
utuh yang sama. Perlu dicatat saya tidak
meniadakan kehadiran dan peranan yang pernah dimiliki Subagio, Rendra,
Goenawan, dan sebagainya. Pastilah sebagian penyair yang sadar akan kediriannya
sebagai pencipta, tidak terjerumus dalam menjiplak pola-pola atau model dari
sajak-sajak.
Sifat
jalannya sidang peradilan yang sekarang ini, ada pendirian yang mungkin cukup
diametral, membelah wilayah ini menjadi dua ujung yang berbeda kodratnya, gaya
hidupnya, suasana batin dan pengalamannya. Dengan ini kami sangat bertindak
selaku jaksa penuntut umum dalam”peradilan puisi kontemporer”, mengajukan
tuntutan sebagai berikut:
1.
Para
kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir,
khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan
yang pernah mereka miliki
2.
Para
editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi
Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.
Para
penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang
menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi
ingkarnasinya dibuang kepulau yang paling pencil
4.
Horison dan
Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya
dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca
oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan
sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
H.B. Jassin
Beberapa Catatan Bertalian dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
Menurut
program, susunan personalia pengaadilan adalah seperti berikut:
Hakim
ketua : Sanento Yuliman
Hakim
anggota : Darmanto Jt
Jaksa
penuntut umum : Slamet Kirnanto
Tim
Pembela : Taufiq Ismail
Sapardi Djoko Damono (absen)
(Hendrawan Nadesul)
Terdakwa : Puisi Indonesia Mutakhir
Para
saksi : saksi yang
meringankan :
Saini K.M. (Bandung)
Adri Damardji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
Saksi yang memberatkan :
Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)
Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana
yang dapat ditangkap dari laporan wartawan kompas
ialah, bahwa:
...situasi
perkembangan sastra. Khususnya puisi di Indonesia tidak menentu. Sudah tidak
sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari sastrawan
intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra
Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri melainkan hanya
epigonisme dari barat saja.
Dalam pengadilan puisi sudah
sewajarnya dihadirkan para penyair dan kritikus untuk mempertanggung jawabkan
apa yang disebut sebagai dosa-dosanya. Didalam pengadilan sesungguhnya tentulah
seorang pembela akan memajukan eksepsi, tapi saya sebagai peninjau merangkap
tertuduh pada kesempatan ini lebih berminat untuk meminta diteruskan jalannya
pengadilan dan membicarakan apa yang perlu dibicarakan demi mencapai kejernihan
dan keadilan.
Para penyair mutakhir dalam
penciptaannya cukup serius dalam pencariannya dan perlulah diberi kesempatan
untuk membuktikan kemampuannya lebih lanjut.
M.S. Hutagalung
PUISI KITA DEWASA INI
Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto
Pada dasarnya “pengadilan puisi”
yang diadakan di Bandung tidak banyak memberikan kesan kepaday saya.
Pertama-tama saya telah biasa mendengar pelbagai macam pertanyaan, statement tang terlalu umum dan hampir
tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi dan
pembuktian-pembuktian seperti misalnya: tak ada puisi setelah Chairil Anwar,
Kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang Kritikus dan banyak
lagi. Kesan demikianlah yang timbul pada saya waktu membaca berita-berita yang
tak begitu lengkap mengenai “pengadilan puisi” tersebut.
Dalam dalam tulisannya yang
berkobar-kobar, Kirnanto sangat bangga dan ingin menonjolkan tokoh yang sangat
dikagumi dan dipujannya: Sutardji Calzoum Bachri. Dan karena para kritikus
kurang cepat menanggapi sajak-sajak Sutadji yang “maha besar” Kirnanto mengamuk
dan bertanya: “Apakah kritik sastra di Indonesia telah mati sebelum hidup?”
Saya katakan pendapat itu bau apak
karena kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji bukanlah alasanuntuk
mengatakan bahwa kritik sastra di Indonesia tidak ada. Dan rupanya, pendapat
yang bau apak itu telah di kemukakan juga dalam dakwaannya di Bandung dengan
judul yang sangat spektakuler itu: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia
Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!” Rupanya telah lahir
Rustandi Kartakusuma yang kedua didalam kehidupan sastra kita.
Setelah penuntut umum mengutarakan
kegembiraannya karena Harry Aveling menyebut-nyebut tokoh pujaannya: Sutadji
dan Danarto, ia mulai penghakimannya kepada penulis dan teman-teman:
Untuk
menimbulkan kesan bahwa ia (M.S. Hutagalung MSH) tetap setia pada bidangnya(kesusastraan),
dalam suatu ceramahnya di Fakultas Sastra UI dengan lagak seorang juri ia
menilai dan sekaligus mengumumkan bahwa dewasa ini penyair yang terkemuka di
Indonesia ini adalah Subagio Sastra wardoyo – baru kemudian meyusul nama-nama Goenawan
Mohamad, Sapardji Djoko Damono dan Rendra.
Kekeliruan
Kirnanto juga ialah bahwa ia mengaggap bahwa semua bunga yang punya duri adalah
mawar, atau bunga itu menjadi mawar karena berduri. Ia menganggap sajak yang
aneh sebagai sajak yang berhasil. Yang tidak ditanyakan seterusnya adalah
apakah sajak yang aneh ini punya nilai-nilai yang langgeng atau tidak.
Beberapa kesimpulan:
1.
Pandangan-pandangan
Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang
cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap
dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan
dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan
kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2.
Saya
berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statment
tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3.
Bahwa
perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus,
sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak
sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya
ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4.
Untuk
menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya
tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin
atau M.S Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan
tagar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan
yang tidak wajar untuk mereka.
Goenawan Mohamad
Komentar Berhubung
Dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
Tentang
forum itu
Harus diakui, ini hasil akal bagus
untuk mengadakan diskusi puisis dengan cara baru. Cara yang lama mungkin
dianggap membosankan atau kurang daya tarik. Dasar pemikiran penjuala obat
alun-alun masih cukus sah untuk ditirukan: maunya jual obat, tapi buat atraksi
perlu ada sedikit jungkir balik.
Tentang
“tuntutan” Slamet Kirnanto
Rasanya soal yang ditampilkan dalam
acara Bandung itu hanya ulangan dari gerutan lama. Menghantam H.B. Jassin,
mengecam Horison, menabok epigonisme terhadap barat atau lainnya
... demua itu sudah merupakan klise. “pengadilan” itu menjadi botol untuk kecap
yang tidak asin atau manis lagi. Saya jadi berpikir-pikir; tidakka “pengadilan
puisi” itu juga menunjukan ciri-ciri beberapa seniman kita kini, yang gemar
mencari bentuk baru, dengan ucapak dan tingkah laku kontroversial, untuk
menarik khalayak untuk berkerumun – justru karena makin sedikit yang bisa
ditawarkan sebagai isi? Dengan kata lain, soalnya hanya melawan kejemuan.
Tentang
“Hakim” dan isi pembicaraan
Saya mmendapat kesan dari isi
pembicaraan dalam “pengadilan” itu bagaimana sibuknya para penyair itu
terus-menerus dengan diri mereka sendiri. Seolah-olah keadaan mereka-lah yang
paling gawat sekarang, bahwa merekalah yang diperlakukan paling tidak adil di
Indonesia kini ... oleh seorang kritikus dan dua buah majalah.
Tentang
penyair yang sudah “Established”
Ada penyerangan terhadap mereka.
Setiap seniman punya nasib – malah kehendak – untuk jadi “established”. Apa
boleh buat: yang berubah itu selamannya berarti perubahan dari sesuatu. Dalam
hal ini, “sesuatu” itu adalah kepribadian sang penyair. Bila ia jujur, ia tidak
bisa mengelak dari dirinya sendiri.
Tentang
kehidupan puisi
Tokoh kita adalah puisi, bukan
penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga – hingga lebih baik
seorang penyair berhenti menulis dari pada ia memaksa diri kasih unjuk tenaganya
tapi Cuma menghasilkan ampas.
Sapardji Djoko Damono
CATATAN ATAS PENGADILAN PUISI
DAN TUNTUTAN SLAMET KIRNANTO
I
Pengadilan puisi diselenggarakan di
Bandung pada tanggal 8 September 1974. Pengadilan puisi di Bandung itu suatu
cara bertengakar yang unik, meskipun juga bisa dianggap sebagai puncak
perkembangan “sastra mulut”.
II
Keseluruhan naskah tuntutan itu
memberi kesan bahwa penulisnya ingin membuktikan bahwa ia adalah orang pertama
yang melihat adanya hal-hal baru dalam sastra Indonesia. Untk mencapai maksud
itu, ia rupanya menganggap perlu untuk mencaci-maki dua buah majalah.:
Gejala
demikian juga nampak pada satu-satunya media sastra yang disebut Horison dan Budaya
Jaya. Tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jwaba. Nama Horison yang pada periode awal
menunjukan suatu janji memberikan prasarana terbaik untuk tumbuhnya karya-karya
sastra yang kreatif dan sehat itu, tiba-tiba saja terjerumus menjadi majalah
keluarga. Karena mereka ingin menegakan suatu kekukuhan berpijak sebagai yang
paling mewakili, menjadikan isi majalah itu menurut selera mereka. Tanpa
memberikan kesempatan pada gejala yang berlainan. Mereka lupa bahwa majalah
tidak hanya bergantung pada kemauan redaksi, tetapi juga karena didukung oleh
penulis-penulis dan publik pembaca.
III
Tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis
dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak.
Barangkali kita harus menghargai Kirnanto karena “keberaniannya” tampil di
Bandung tempo hari namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu
“serius” untuk pertemuan serupa itu.
Darmanto Jt
TENTANG PENGADILAN PUISI
I
Merumuskan tuduhan, mendengarkan
saksi-saksi, mendengarkan pembelaan, kemudian memutuskan hukuman.
Betapapunorang bilang, judgment kritikus
bukan judgment yang final, namu
kitidakfinalan ini mempunyai tabiat yang tak bisa di tawar-tawar.
Jadi, apa salahnya kita minta
pengadilan puisi. Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi
Indonesia. Yang kedua, ini penting, sebab dengan demikian penyair-penyair akan
mengerti mana yang boleh ditulis atau yang dipuisikan dan mana yang tidak.
Yakni untuk mencegah kerusuhan dan efeknya negatif terhadap masyarakat. Ketiga,
tentu saja, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman mental, sebab puisi
terkena hukuman ini.
II
Untuk kenaikan pangkat, pertama
pertimbangan prestasi;sebab, ini tuntutan yang demokrasi sesuai hukum-hukum
terbaru masayarakar modern dalam masalah “bekerja”.
Hendaknya Dewab Pertimbangan ini
mencantumkan juga predikat promosi penyair. Misalnya, “cemerlang”, “biasa”,
atau “kurang”.
III
Sekarang mari kita ingat kembali
Chairil Anwar. Dalam masalah kelas, bisakah dia dibilang kelas I? Karena
sangiannya masih sedikit.
Masih tentang Chairl Anwar.
Bagaimana dengan kegiatan plagiatnya? Perlu diadili atautidak? Ini penting,
demi fair-nya kesusastraan Indonesia.
Bukankah hukum itu dijunjung tinggi jiks kita hendak menjadi negara modern.