Kamis, 04 Mei 2017

Menerjemahkan Aku Menyanyi

Menerjemahkan Aku Menyanyi         

            Tak mudah untuk menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain karna banyak persoalan diantaranya kita harus memahami bahasa yang akan diterjemahkan dan bahasa yang sebagai penerjemah. Disini saya akan mencoba untuk menerjemahkan nyanyian Aku Menyanyi yang dimiliki masyarakat Kutai. Lagu ini menceritakan berkumpul dan bersenang senang bersama.


Aku Menyanyi


Endak-endaklah mendi
Endaklah mendi panasnya hari
Mendi-mendi dibatang
Mendi dibatang airnya keroh
Gubang-gubang tambangan
Gubang tambangan membawa jukut
Jukut nyaman dipanggang
Nyaman dipanggang gangannya terong

Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Jangan heran etam mendengar
Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Hibur hati dengar aku menyanyi

Wadakleh urang seberang
Urang seberang menggangan asam
Namun etam disini
Etam disini menggangan kacang
Putih bunga melati
Bunga melati harum baunya
Setangkai ku petik
Namun sayang tinggal daunnya

Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Jangan heran etam mendengar
Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Hibur hati dengar aku menyanyi


Terjemahan :
Aku Menyanyi


Hendak-hendaklah mandi
Hendaklah mandi panasnya hari
Mandi-mandi dibatang pohon
Mandi dibatang airnya keruh
Perahu-perahu kecil
Perahu kecil membawa ikan
Ikan enak dipanggang
Enak dipanggang sayurnya terong

Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Jangan heran kita mendengar
Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Hibur hati dengar aku bernyanyi
Aduhay orang seberang
Orang seberang memasak sayur asam
Namun kita disini
Kita disini memasak sayur kacang
Putih bunga melati
Bunga melati harum baunya
Setangkai ku petik
Namun sayang tinggal daunnya

Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Jangan heran kita mendengar
Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
Hibur hati dengar aku bernyanyi



            Kandungan pada lagu ini mengandung suasana yang ceria dan bersifat umum setiap kalangan dapat menyanyikan. Kebiasaan masyarakat yang banyak membuat pemukiman di pinggir sungai tepatnya Sungai Mahakam. Masyarakat melakukan kegiatan di Sungai Mahakam bahkan untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari tapi tak semua kebutuhan.

            “Mendi-mendi dibatang, mendi dibatang airnya keroh” dalam lirik ini menceritakan kebiasaan masyarakat membuat tumpukan atau tempat sebagaimana digunakan untuk mandi, mencuci baju, mengikat perahu dan banyak kegiatan lainnya. Dan kalimat “airnya keroh” menceritakan keidentikan air sungai mahakam yang keruh. Mungkin saja maksud dari kalimat ini menyindir masyarakat agar dapat menjaga kebersihan sungai mahakam.

            Dan disisi lain, “gubang-gubang tambangan, gubang tambangan membawa jukut”dalam lirik ini dimana masyarakat tersebut melakukan kegiatan untuk kebutuhan hidupnya seperti mencari ikan disungai.

            “Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
            Jangan heran etam mendengar
            Lagu ini lagu mainan, lagu ini lagu sindiran
            Hibur hati dengar aku menyanyi”
            Dan pada lirik ini jelas kiranya bahwa lagu ini bersifat menyindir namun juga mungkin bermaksud untuk menghibur ataupun mengajak seseorang untuk berceria bersama.


            Tak banyak yang saya ketahui tentang lagu ini saya hanya mendapat informasi dari seorang yang memiliki darah keturunan Suku Kutai. Dapat saya simpulkan bahwa lagu ini tak cukup serius tapi banyak mengandung unsur hiburan semata namun di sisi lain ada unsur yang menyindir.

Senin, 24 April 2017

Taufiq Ismail
Catatan dari Bandung dan Jakarta
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN TERHADAP ITU

            Pertengahan Agustus 1974,  melalui Sutardji Calzoum Bachri, saya menerima undangan untuk membaca sajak di Bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra. Waktu yang ditawarkan akhir Agustus  namun saya meminta jika bisa diundur pada awal September atau minggu kedua bulan September. Hal ini diatur melalui pembicaraan telepon, jadinya 8 September 1974. Pada interlokal itu Sutardji menyebut tentang bentuk “Pengadilan Puisi” yang belum diketahui bagaimana jelasnya.
            Dua jam sebelum acara dimulai, para penyelenggara menjelaskan kepada saya apa yang dimaksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. Ternyata Bandung ingin mencari suatubentuk lain dalam membahas kesusastraan, dalam hal ini puisi. Menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhirjadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang memberikan kesaksian dan ada hakim yang memutuskan.
            Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya, diluar dugaan saya. Judulnya dengan semangat Zola 76 tahun yang lalu , paling kurang pada dua kata pertama “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
            Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi. Tembakan-tembakan kejengkelan jaksa dan keempat tuntutannya pada situasi pengadilan puisi terdengar cukup konyol dan jenakalah ala kadarnya. Sebagai pembela, saya agaknya tidak terlalu berat melakukan tugas, karena suasana terasa macam pengadilan plonco-plonci yang tegang bagi mereka yang tak paham namun gembira bagi yang mau ikut main. Diktum-diktum tuntutan cukup tidak masuk akal dan beberapas saksi bermain ping-pong baik dengan jaksa maupun dengan pembela.
            Kursi kosong yang terletak ditengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad : Puisi Mutakhir Indonesia. Janji bersama untuk 8 September di Aula Unpar Bandung adalah dengan apresiasiterhadap kejenakaan, ala kadar yang bisa dicapai. Saksi ada dua macam, yaitu yang memberatkan dan meringatkan tuduhan terhadap pesakitan.
*
            Sidang dihentikan sejenak, para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum adat serta membaca cerita adat. Hakim Darmanto menolak tuntutan jaksa, diputuskan bahwa Puisi Mutakhir Indonesia memang ada namun belum berkembang . Ada 4 keputusan oleh Majelis Hakim. Jaksa Slamet Kirnanto tidak puas dengan keputusan ini dan menyatakan naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi.
*
            Tiga belas hari selanjutnya, di Teater Fakultas Sastra UI diadakan majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” Jalan acara cukup ramai, sudah lama orang tidak “bermarah-marah” dalam lalu lintas sastra Indonesia .


Slamet Kirnanto
SAYA MENDAKWA KEHIDUPAN PUISI INDONESIA AKHIR-AKHIR INI TIDAK SEHAT, TIDAK JELAS DAN BRENGSEK!
(Tuntutan Umum pada Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung, 8 September 1974)
            Kepada majelis sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan betapa semakin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia, khususnya kehidupan puisi Indonesia. Menurut pengamatan saya mengalami semacam polusi dan manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!
            Harry Aveling pernah menyatakan saat ia ceramah di Malaysia “Percobaan Darnanto dan Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan segala lapisan pembaca sastra Indonesia... minimal, keduanya menentang cara dan pokok menulis yang sudah biasa bagi penulis Indonesia. Keduanya sedang menoong mencari jalan baru, jalan kebawah sadar, yang percaya akan kekuatan perkataan dan keindahan manusia hancur, manusia yang hidup dengan syahwatnya, kesengsaraannya, kematiannya, yang percaya manusia sendiri Tuhan.”!
            Menurut saya penilaian Harry Aveling dalam ceramahnya, sekalianlah belum memadai. Namun, suatu ketajaman dalam mengikuti hidup dan perkembangan penciptaan sastra (khsusunya puisi) di negeri kita ini sangat membanggembirakan dan pantas kita hargakan.
            Aneh, dalam negeri sendiri orang tidak menyadari tentang munculnya gejala dan kecenderungan-kecenderungan baru. M.S Hutagalung (dosen kesusatraan FSUI) bersama rekannya seperti S. Effendi dan yang lainnya pernah memperkenalkan satu teori kritik sastra yang dikenal dengan metodei struktural yang dikukuhkan pada seminar bahasa dan kesusastraan tahun 1966.
            Kritikus muda ( Subagio Sastrowardoyo) nampaknya sekadar terpikat oleh pilihan kata-kata istimewa, ditilik dari segi-segi atau unsur yang membangun struktur dalam sajak-sajak Subagio. Menurut Hutagalung, puncak keberhasialn Subagio adalah pada sajak “Dan Kematian Semakin Akrab” namun H.B. Jassin menolak keputusan bekas anak didiknya itu. Menurut kritikus ini, penyair yang terkemuka di Indonesia sekarang ini adalah W.S Rendra. Rendra sebagai penyair terbesar saat ini karena berhasil menggambarkan gagasan yang dalam, lekuk-liku kejiwaan yang sulit diraba dan dipikirkan yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari kehidupan sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret.
            Dalam hati saya geli mendengari pertandingan adu nomor itu. Bagaimana kita mempercayai pendirian dan penilaian dua kritikus itu. Katakanlah dua kritikus dan sekaligus membuat sulapan semacam ini.
            Renungkan setengah dari karikatur yang saya paparkan diatas. Disatu pihak sarjana sastra dan kritikus asing yang dengan teliti dan tekun mengikuti perkembangan kesusastraan Indonesia modern dari zaman baheula sampai zaman mutakhir.
            Untuk menyegarkan dan menyehatkan kehidupan sastra kita khususnya puisi, perlu adanya integritas dari berbagai potensi. Meskipun sastra kita cukup dewasa untuk dinilai diuji ataupun di curigai; namun cara-cara yang dilakukan oleh Hutagalung dan Jassin dalam debat tentang penyair nomor wahid itu menunjukan mandeknya pemikiran dalam mengikuti perkembangan kehidupan puisi Indonesia mutakhir. Tugas penyair adalah mencipta.
            Orang menganggap saya memuji muji keberhasilan Sutardji, membela setengah mati. Yang lebih penting ialah kesan umum yang saya tangkap yang membedakan penciptaan seni yang mutakhir dengan keadaan penciptaan sebelumnya. Kecenderungan seni nampak tumbuh secara merata dan bersama-sama tumbuh dalam satu ruang dan rasa utuh yang sama. Perlu dicatat  saya tidak meniadakan kehadiran dan peranan yang pernah dimiliki Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebagainya. Pastilah sebagian penyair yang sadar akan kediriannya sebagai pencipta, tidak terjerumus dalam menjiplak pola-pola atau model dari sajak-sajak.
            Sifat jalannya sidang peradilan yang sekarang ini, ada pendirian yang mungkin cukup diametral, membelah wilayah ini menjadi dua ujung yang berbeda kodratnya, gaya hidupnya, suasana batin dan pengalamannya. Dengan ini kami sangat bertindak selaku jaksa penuntut umum dalam”peradilan puisi kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1.      Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki
2.      Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.      Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang kepulau yang paling pencil
4.      Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.

H.B. Jassin
Beberapa Catatan Bertalian dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR

Menurut program, susunan personalia pengaadilan adalah seperti berikut:
Hakim ketua                : Sanento Yuliman
Hakim anggota            : Darmanto Jt
Jaksa penuntut umum : Slamet Kirnanto
Tim Pembela               : Taufiq Ismail
                                      Sapardi Djoko Damono (absen)
                                      (Hendrawan Nadesul)
Terdakwa                    :  Puisi Indonesia Mutakhir
Para saksi                    : saksi yang meringankan :
                                      Saini K.M. (Bandung)
                                      Adri Damardji (Jakarta)
                                      Wing Kardjo (Bandung)
                                      Abdul Hadi W.M (Bandung)
                                      Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
                                      Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
                                      Saksi yang memberatkan :
                                      Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
                                      Sides Sudyarto DS (Jakarta)
            Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan kompas ialah, bahwa:
...situasi perkembangan sastra. Khususnya puisi di Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari sastrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri melainkan hanya epigonisme dari barat saja.
            Dalam pengadilan puisi sudah sewajarnya dihadirkan para penyair dan kritikus untuk mempertanggung jawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosanya. Didalam pengadilan sesungguhnya tentulah seorang pembela akan memajukan eksepsi, tapi saya sebagai peninjau merangkap tertuduh pada kesempatan ini lebih berminat untuk meminta diteruskan jalannya pengadilan dan membicarakan apa yang perlu dibicarakan demi mencapai kejernihan dan keadilan.
            Para penyair mutakhir dalam penciptaannya cukup serius dalam pencariannya dan perlulah diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya lebih lanjut. 

M.S. Hutagalung
PUISI KITA DEWASA INI
Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto

            Pada dasarnya “pengadilan puisi” yang diadakan di Bandung tidak banyak memberikan kesan kepaday saya. Pertama-tama saya telah biasa mendengar pelbagai macam pertanyaan, statement tang terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi dan pembuktian-pembuktian seperti misalnya: tak ada puisi setelah Chairil Anwar, Kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang Kritikus dan banyak lagi. Kesan demikianlah yang timbul pada saya waktu membaca berita-berita yang tak begitu lengkap mengenai “pengadilan puisi” tersebut.
            Dalam dalam tulisannya yang berkobar-kobar, Kirnanto sangat bangga dan ingin menonjolkan tokoh yang sangat dikagumi dan dipujannya: Sutardji Calzoum Bachri. Dan karena para kritikus kurang cepat menanggapi sajak-sajak Sutadji yang “maha besar” Kirnanto mengamuk dan bertanya: “Apakah kritik sastra di Indonesia telah mati sebelum hidup?”
            Saya katakan pendapat itu bau apak karena kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji bukanlah alasanuntuk mengatakan bahwa kritik sastra di Indonesia tidak ada. Dan rupanya, pendapat yang bau apak itu telah di kemukakan juga dalam dakwaannya di Bandung dengan judul yang sangat spektakuler itu: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!” Rupanya telah lahir Rustandi Kartakusuma yang kedua didalam kehidupan sastra kita.

            Setelah penuntut umum mengutarakan kegembiraannya karena Harry Aveling menyebut-nyebut tokoh pujaannya: Sutadji dan Danarto, ia mulai penghakimannya kepada penulis dan teman-teman:
Untuk menimbulkan kesan bahwa ia (M.S. Hutagalung MSH) tetap setia pada bidangnya(kesusastraan), dalam suatu ceramahnya di Fakultas Sastra UI dengan lagak seorang juri ia menilai dan sekaligus mengumumkan bahwa dewasa ini penyair yang terkemuka di Indonesia ini adalah Subagio Sastra wardoyo – baru kemudian meyusul nama-nama Goenawan Mohamad, Sapardji Djoko Damono dan Rendra.

Kekeliruan Kirnanto juga ialah bahwa ia mengaggap bahwa semua bunga yang punya duri adalah mawar, atau bunga itu menjadi mawar karena berduri. Ia menganggap sajak yang aneh sebagai sajak yang berhasil. Yang tidak ditanyakan seterusnya adalah apakah sajak yang aneh ini punya nilai-nilai yang langgeng atau tidak.
             Beberapa kesimpulan:
1.      Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2.      Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statment tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3.      Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4.      Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin atau M.S Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan tagar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.

Goenawan Mohamad
Komentar Berhubung Dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
           
Tentang forum itu
            Harus diakui, ini hasil akal bagus untuk mengadakan diskusi puisis dengan cara baru. Cara yang lama mungkin dianggap membosankan atau kurang daya tarik. Dasar pemikiran penjuala obat alun-alun masih cukus sah untuk ditirukan: maunya jual obat, tapi buat atraksi perlu ada sedikit jungkir balik.
Tentang “tuntutan” Slamet Kirnanto
            Rasanya soal yang ditampilkan dalam acara Bandung itu hanya ulangan dari gerutan lama. Menghantam H.B. Jassin, mengecam Horison,  menabok epigonisme terhadap barat atau lainnya ... demua itu sudah merupakan klise. “pengadilan” itu menjadi botol untuk kecap yang tidak asin atau manis lagi. Saya jadi berpikir-pikir; tidakka “pengadilan puisi” itu juga menunjukan ciri-ciri beberapa seniman kita kini, yang gemar mencari bentuk baru, dengan ucapak dan tingkah laku kontroversial, untuk menarik khalayak untuk berkerumun – justru karena makin sedikit yang bisa ditawarkan sebagai isi? Dengan kata lain, soalnya hanya melawan kejemuan.
Tentang “Hakim” dan isi pembicaraan
            Saya mmendapat kesan dari isi pembicaraan dalam “pengadilan” itu bagaimana sibuknya para penyair itu terus-menerus dengan diri mereka sendiri. Seolah-olah keadaan mereka-lah yang paling gawat sekarang, bahwa merekalah yang diperlakukan paling tidak adil di Indonesia kini ... oleh seorang kritikus dan dua buah majalah.
Tentang penyair yang sudah “Established”
            Ada penyerangan terhadap mereka. Setiap seniman punya nasib – malah kehendak – untuk jadi “established”. Apa boleh buat: yang berubah itu selamannya berarti perubahan dari sesuatu. Dalam hal ini, “sesuatu” itu adalah kepribadian sang penyair. Bila ia jujur, ia tidak bisa mengelak dari dirinya sendiri.
Tentang kehidupan puisi
            Tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga – hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis dari pada ia memaksa diri kasih unjuk tenaganya tapi Cuma menghasilkan ampas.

Sapardji Djoko Damono
CATATAN ATAS PENGADILAN PUISI DAN TUNTUTAN SLAMET KIRNANTO

I
            Pengadilan puisi diselenggarakan di Bandung pada tanggal 8 September 1974. Pengadilan puisi di Bandung itu suatu cara bertengakar yang unik, meskipun juga bisa dianggap sebagai puncak perkembangan “sastra mulut”.
II
            Keseluruhan naskah tuntutan itu memberi kesan bahwa penulisnya ingin membuktikan bahwa ia adalah orang pertama yang melihat adanya hal-hal baru dalam sastra Indonesia. Untk mencapai maksud itu, ia rupanya menganggap perlu untuk mencaci-maki dua buah majalah.:
Gejala demikian juga nampak pada satu-satunya media sastra yang disebut Horison  dan Budaya Jaya. Tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jwaba. Nama Horison yang pada periode awal menunjukan suatu janji memberikan prasarana terbaik untuk tumbuhnya karya-karya sastra yang kreatif dan sehat itu, tiba-tiba saja terjerumus menjadi majalah keluarga. Karena mereka ingin menegakan suatu kekukuhan berpijak sebagai yang paling mewakili, menjadikan isi majalah itu menurut selera mereka. Tanpa memberikan kesempatan pada gejala yang berlainan. Mereka lupa bahwa majalah tidak hanya bergantung pada kemauan redaksi, tetapi juga karena didukung oleh penulis-penulis dan publik pembaca.

III
            Tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak. Barangkali kita harus menghargai Kirnanto karena “keberaniannya” tampil di Bandung tempo hari namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu.

Darmanto Jt
TENTANG PENGADILAN PUISI

I
            Merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi-saksi, mendengarkan pembelaan, kemudian memutuskan hukuman. Betapapunorang bilang, judgment kritikus bukan judgment yang final, namu kitidakfinalan ini mempunyai tabiat yang tak bisa di tawar-tawar.
            Jadi, apa salahnya kita minta pengadilan puisi. Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Yang kedua, ini penting, sebab dengan demikian penyair-penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau yang dipuisikan dan mana yang tidak. Yakni untuk mencegah kerusuhan dan efeknya negatif terhadap masyarakat. Ketiga, tentu saja, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini.
II
            Untuk kenaikan pangkat, pertama pertimbangan prestasi;sebab, ini tuntutan yang demokrasi sesuai hukum-hukum terbaru masayarakar modern dalam masalah “bekerja”.
            Hendaknya Dewab Pertimbangan ini mencantumkan juga predikat promosi penyair. Misalnya, “cemerlang”, “biasa”, atau “kurang”.
III
            Sekarang mari kita ingat kembali Chairil Anwar. Dalam masalah kelas, bisakah dia dibilang kelas I? Karena sangiannya masih sedikit.
            Masih tentang Chairl Anwar. Bagaimana dengan kegiatan plagiatnya? Perlu diadili atautidak? Ini penting, demi fair-nya kesusastraan Indonesia. Bukankah hukum itu dijunjung tinggi jiks kita hendak menjadi negara modern.


Senin, 17 April 2017

Bapak Kota Sama-Randah

Bapak Kota Sama-Randah

            Legenda adalah cerita seorang suci seperti wali, pahlawan dan tokoh lain. Cerita itu bersifat historis dan secara populerditerima sebagai kebenaran walaupun kepastian ilmiyahnya tidak ada. (Abdul 2000;119). Legenda yaitu dongeng tentang asal mula suatu gejala alam. Cerita yang menghubung-hubungkan peristiwa sejarah dengan keajaiban alam. (Mohammad 1990:101).
            Legenda sama dengan mitos diyakini benar-benar terjadi. Bersifat sekuler keduniawian, terjadi belum terlalu lama. Bertempat didunia seperti yang kita tempati saat ini.
            Legenda di golongkan menjadi empat golongan yaitu, legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
             Legenda keagamaan bisa berbentuk tulisan atau buku tentang orang yang saleh atau seorang yang ahli agama. Walaupun sudah di tulis tetapi tetap folklor. Karena dituturkan oleh pemiliknya.
            Legenda alam gaib biasanya di anggap benar-benar terjadi, mengandung takhayul atau kepercayaan rakyat.
            Legenda persorangan yaitu mengenai tokoh tertentu yang di anggap pernah terjadi, seperti contoh legenda pendiri kota Samarinda yang akan dibahas.
            Legenda setempat yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat tertentu, nama tempat dan topograpi.
            Legenda bersifat migratoris (berpindah-pindah) sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
            Beberapa fakta legenda menurut Alan Dundes legenda lebih banyak dari mitos dan dongeng pada setiap daerah. Legenda seperti mitos yang mempunyai tipe dasar yang terbatas. Lebih banyak legenda lokal ketimbang legenda migrasi. Di dunia akan selalu ada pertambahan legenda.
           
            Berbicara tentang legenda disini saya akan mengulas pasal pendiri kota disalah satu wilayah Kalimantan Timur. Pada tanggal 18 april 2017, saya bersama rombongan kelas Sastra Indonesia berencana akan berjiarah sekaligus meneliti tentang makam Lamohang Daeng Mangkona. Yang bertempat di Samarinda Seberang tepatnya di JL. ABD. RASYID. Disini sebelum saya masuk jauh untuk mengulas saya akan membagikan sedikit gambaran tentang suasana yang ada di makam Lamohang Daeng Mangkona. Sebelum berangkat menuju makam kami berkumpul di halaman Fakultas Ilmu Budaya Unmul. Berdoa sebelum melakukan perjalanan menuju pemakaman pendiri kota “Samarinda” Lamohang Daeng Mangkona namanya. Sekitar setengah jam lamanya perjalanan ke makam Lamohang Daeng Mangkona yang bertempat di Samarinda Seberang.
            Perjalanan yang sedikit risih di bawah teriknya matahari macetnya kota Samarinda yang sedikit tak bersahabat yang tak jarang bunyi kelakson-kelakson mereka yang sedikit kurang bisa berkompromi, tapi hal itu tak menyurutkan keingin tahuan saya terhadap pendiri sekaligus penjaga kota samarinda.
            Tak nampak begitu jelas kedalaman pemakaman Lamahong Daeng Mangkona dari sisi luar karena pemakaman di pagari cukup tinggi kecuali kita tepat berdiri di depan pagar sedikit dapat terlihat keadaan di dalam pemakaman. Terdapat gardu pemakaman dan halaman parkir yang cukup luas untuk para pengunjung atau para penjiarah yang datang. Di sebelah kiri bila kita menghadap dari jalan terdapat sebuah tempat beteduh dan toilet yang di sediakan untuk para pengunjung dan penjiarah. Di tengah ada lima makam yang di buat ada atap atau seperti rumah yang di pagariseperti makam pada umumnya yang di beri penaungan. Lima makam dan salah satunya makam Lamohang Daeng Mangkona.
            Disebelah kanan ada miniatur kapal yang menjadi simbol alat transportasi Lamohang Daeng Mangkona dari pulau Sulawesi menuju pulau Kalimantan.
            Di belakang tepatnya di bagian belakang makam Lamohang Daeng Mangkona terdapat beberapa makam para pengikut-pengikut Lamohangg Daeng Mangkona, yang menurut sumber sekaligus juru kunci makam tersebut, berjumlah sekitar 200 orang, dan di belakang lagi sedikit terpisah tapi masih dalam satu lingkungan menurut cerita dari sumber disana adalah makam-makam para penghianat Lamohang Daeng Mangkona.
            Seluruh wilayah pemakaman tersebut di pagari cukup tinggi karena di khawatirkan banyak orang-orang yang tak bertanggung jawab semudahnya masuk ke pemakaman. Karna tak jarang orang-orang tak bertanggung jawab menyalah gunakan makam tersebut.

            Awalnya hanyalah kampung pengungsi. Cikal bakal kota Samarinda adalah sebuah kampung yang didirikan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) di daerah Samarinda Seberang.
            Sejarah lisan menuturkan, kehadiran orang-orang Bugis Wajo di Kalimantan berwal dari pecahnya pertikaian Kerajaan Gowa yang saat itu di pinpin oleh Sultan Hasanuddin dengan kerajaan Bone yang saat itu di pimpin oleh Raja Arupalaka. Pertikaian tersebut melibatkan pasukan Belanda yang di pimpin oleh Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.
Saat itu kerajaan Bone merupakan kerajaan Gowa, namun keduanya berulang kali bertikai karena berbagai sebab. Cerita lisan menuturkan, satu pertikaian terjadi akibat terbunuhnya seorang bangsawan Bone oleh bangsawan Gowa dalam acara sabung ayam yang digelar untuk memeriahkan suatu pesta perkawinan putra Gowa dengan putri Bone. Pertikaian ini lah yang membuat para rombonganpengungsi yang di pimpin oleh La Ma’dukelleng dari Gowa pindah ke daerah Pasir, Kalimantan Timur. Cerita lisan menyebutkan,inilah rombongan etnis Bugis yang pertama kali datang ke Kalimantan Timur.
                        Sementara itu kronik Bugis mengisahkan pernah terjadi pertikaian tajam Kerajaan Bone dan Gowa yang di picu perbedaan pandangan mengenai perbudakan. Raja Bone yang menerapkan ajaran Islam secara harafiah mempunyai keinginan unuk membebaskan semua orang yang”tidak bebas”, yang tidak berasal dari negeri itu, dan mengharuskan tuan-tuan mereka untuk menggaji atau mengupah orang–orang itu. Tapi ibunya, yang bingung memikirkan akibat yang akan timbul dari kemurahan hati itu, cepat memberitahukannya kepada para penguasa Gowa (yang menguasai Bone sekaligus masih kerabat). Penguasa Gowa kemudian menyatakan menentang rencana penghapusan perbudakan itu, demi memulihkan ketertiban. Karena bila gagasan itu dilaksanakan, maka akan terjadi keguncang sosial-kultural, yang pada gilirannya bisa jadi mengguncang eksistensi kemonarkian yang ada. Pertikaian Bone-Gowa akhirnya memuncak oleh kulminasi  berbagai persoalan lain. Ketika pertempuran terbuka pecah, Gowa diserang dari dua arah. Speelman menyerang dari arah laut, sementara Arupakala dan prajuritnya menyerang dari darat. Akhirnya kerajaan Gowa kalah dan Sultan Hasanuddin di paksa menandatangani perjanjian takluk. Perjanjian ini di kenal dengan sebutan “Perjanjian Bongaja” yang di lakukan tanggal 18 November 1667.
            Sebagian orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak sudi tunduk ada sebagian yang meneruskan perjuangan melalui perlawanan secara geriliya. Sebagian memutuskan untuk merantau ke pulau-pulau lain. Di antaranya adalah La Mohang Daeng Mangkona memilih meninggalkan kota kelahirannya, melintas Selat Makasar menuju Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Rombongan ini berjumlah sekitar 200 orang dan menggunakan 18 perahu.
            Kedatangan rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oleh Sultan Kutai, Dipati Modjo Kusumo (1650-1686) yang saat itu bertahta di pemarangan (sekarang kampung jembayan).
            Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut di beri lokasi tempat tinggal disekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang), yaitu daratan rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha.
            Di sinilah La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongan membuka hutan dan mencetak area persawahan tadah hujan. Mereka juga membangun rumah-rumah rakit yang membujur sepanjang tepian mahakam. Rumah-rumah ini dikerjakan secara gotong royong. Rumah-rumah yang sama tinggi, area persawahan yang sama rendah dan di bagi rata menyebabkan perbedaan derajat kearistokratan yang sebenarnya dibawa dari tanah asal mereka menjadi hilang. Mereka menjadi egaliter. Semua sama. Daerah itupun kemudian dinamai “sama-randah” (randa=rendah;bahasa Banjar). Nama ini dua arti: pertama, mengacu pada daerah itu yang memang rendah; kedua, mengacu pada terciptanya ke-egaliter-an kehidupan. Lama-lama daerah itu dinamakan Samarinda.
            La Mohang Daeng Mangkona di akui Raja Kutai sebagai pimpinan komunitas disana dengan gelar Poa Adi.
            Orang-orang Bugis Wajo mulai membangun pemukiman di daerah “sama-randah” atau samarinda itu pada Januari 1668, yang kemudian di jadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Hari jadi kota Samarinda di tetapkan tanggal 21 Januari 1668. Seiring berjalannya waktu kota Samarinda menjadi pesat oleh penduduk dan pemukiman-pemukiman yang di bangun oleh orang dari wilayah lain.
            Sejak tanggal 1 januari 1957 kota Samarinda remi menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, yang terletak di pinggir sungai Mahakam(Bahokam).
            Wajah dan keturunan La Mohang Daeng Mangkona tidak diketahui jelas. La Mohang Daeng Mnagkona juga sebagai salah satu penyebar agama Islam menurut cerita dari juru kunci ketiga yang sampai saat ini masih menjadi juru kunci makam La Mohang Daeng Mangkona.
            Menurut cerita dari juru kunci ketiga sekaligus anak dari juru kunci pertama makam Lamahong Daeng Mangkona ditemuka oleh M Toha selaku juru kunci pertama. Saat itu M Toha berniat mebuka sebuah lahan untuk perkebunan dengan cara membakar hutan tesebut saat semua telah terbakar  namun menyisakan batu nisan yang tersebar yang tidak terbakar, dari situlah M Toha berpikir untuk mengamati atau mencari tahu pasal makam tersebut. Akhirnya M Toha merundingkan dengan penjaga Museum Mulawarman untuk melaporkan ke pusat untuk meneliti. Lalu di resmikan menjadi Cagar Budaya Nasional. Di bangun lah makam tersebut pada tahun 1994.
             Kepastian kapan meninggalnya tidak diketahui diperkirakan umur makam ini sekitar 300 Tahunan. Sekitar kurang lebih terdapat seratus makam yang ada di Taman Makam Lamohang Daeng Mangkona.

            Saya dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan Lamohang Daeng Mangkona ke tanah Kalimantan bukan atas kehendaknya melainkan karena peperangan yang menimbulkan ketidaknyamanan dan dia memutuskan untuk merantau ke tanah Kalimantan Timur. Dan disana lah Lamohang Daeng Mangkona di berikan sebuah wilayah untuk di buka dan dijaga dari para penjajah.
            Disinilah awal terbukannya kota samarinda yang dulu dinamakan sama-rendah, perlahan-lahan menjadi kota yang pesat penduduk dan lama-kalaman menjadi pusat kota atau ibu kota Provinsi.
            Dan ternyata bukan seorang yang dari dalam wilayah Kalimantan Timur lah yang membuka kota Samarinda melainkan seorang pengungsi dari Wajo yang di beri kekuasan oleh Raja Kuta untuk membuka lahan sekaligus menjaga tanah Samarinda.

            Sayangnya tidak banyak para penghuni kota Samarinda yang perantau ataupun yang asli orang Samarinda tidak banyak mengetahui sejarah ini, siapa pembangun pertama kota samarinda. Hal ini terjadi karena kurangnya pnyebaran-penyebaran tentang sejarah-sejarah yang luar biasa pengaruhnya tentang awal pembangunan kota Samarinda. Harapan yang terbenam dalam diri ini semoga sejarah-sejarah yang ada dalam tanah tempat tinggal kita dapat di explore dan di sebarluaskan kepada para penduduk agar mereka tahu bagaimana sejarah-sejarah yang ada dan sangat berpengaruh bagi kota tersebut.
            Dan satu hal yang sangat di sayangkan kurangnya sumber informasi tentang seberapa pentingnya seorang tokoh Lamohang Daeng Mangkona. Harapan selanjutnya semoga ada referensi-referensi baru yang bisa di pertanggung jawabkan dan lebih lengkap tentang informasi makam tersebut.
IMG_0561.JPG
Makam La Mohang Daeng Mangkona

IMG_0563.JPG 
Miniatur kapal sebagai lambang alat transportasi La
Mohang Daeng Mangkona
IMG_0560.JPG
Makam para pengikut La Mohang Daeng Mangkona

Daftar Pustaka:
Muzakir, Djahar, dkk. 2007. Mari Mengenal Samarinda. Samarinda:CV Spirit Komunika
Riwit, Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun.
Sagimun M.D. 1992. Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Ufuk Timur. Jakarta:Balai Pustaka
Rozak, Abdul  Zaidan dkk.2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:Balai Pustaka
Drs. Mohamad Ngafean. 1990. Kamus Kesusastraan. Semarang: Dahara Prize